Dari negerinya Nelson Mandela, sepak bola kembali menyita perhatian kita selama lebih dari dua minggu ini. Para pesohor dan pelagak tingkat dunia layak iri demi menyaksikan para pesepakbola lebih dikenali secara merata di seluruh bumi. Anda bisa menemui para pendecak kagum Messi, Xavi Hernandez, Higuain, Klose, Robben, Cristiano Ronaldo dan sebagainya, mulai dari gedung-gedung tinggi di pusat-pusat metropolis dunia, hingga perkampungan di tepian hutan.
Terlepas anda adalah seorang sosialis, neoliberalis atau konservatif, religius atau sekuler, nasionalis maupun kosmopolit, hari-hari ini anda sedang disihir oleh sepakbola. Bahkan jika pun anda tak punya preferensi liga atau klub tertentu yang bertanding sepanjang tahun, namun untuk momentum Piala Dunia tiap empat tahun sekali ini, anda diajak untuk ikut merayakannya. Juga meskipun komentar yang anda lontarkan itu dilakukan untuk sekedar tidak bengong ketika para kolega membincangkan pertandingan semalam di pagi harinya.
Media massa pun dipenuhi dengan berbagai analisa para komentator. Jika kita amati, salah satu istilah yang kerap kali muncul dalam analisa pertandingan adalah istilah ‘penguasaan bola’ (ball possesion). Ini adalah istilah yang dipakai pengamat untuk melihat arah kendali permainan yang ditunjukkan dengan prosentase. Tim yang mendominasi arah permainan dipercaya akan lebih berpeluang untuk memenangkan pertandingan.
Benarkah demikian? Di sini saya mau berbagi informasi atas fakta bahwa hasil pertandingan yang terjadi sering bertolak-belakang antara penguasaan bola dengan hasil pertandingan.
Dua Pakem
Ketika penyisihan grup Piala Dunia 2010, ada tiga kesebelasan yang tidak begitu dominan memegang bola, yaitu Korea Selatan, Amerika Serikat dan Slovakia. Begitu juga dengan nilai ball possession Uruguay, Jepang, Ghana pada setiap pertandingan di penyisihan grup yang selalu lebih rendah dari lawan-lawannya. Namun dalam kenyataannya, mereka semua dapat lolos ke babak selanjutnya.
Ketika hasil pertandingan berbeda dengan nilai ball possession, pengamat sepakbola umumnya berdalih bahwa hal ini terjadi karena faktor efektivitas atau faktor keberuntungan semata dengan dalih yang sangat terkenal, “bola itu bundar”. Sudah selebar itukah jalan dan sebanyak itukah route untuk lari dari tanggung jawab dalam menjelaskan?
Ketika seorang sahabat memperlihatkan data statistik Piala Dunia pertama di Benua Hitam ini, saya mendapati pola yang menarik. Dari data yang terkumpul, kita rupanya dapat membagi tim-tim yang sukses dalam dua pakem yang sangat berbeda secara ekstrem.
Gaya pertama adalah yang menerapkan strategi permainan yang bersifat dinamis dengan rantai operan yang sangat panjang. Ciri permainan ini adalah jumlah passing yang sangat tinggi (lebih dari 400 operan per pertandingan), cepat (rata-rata dibutuhkan kurang dari 5 detik untuk menghasilkan sebuah operan), dan rantai operan yang sangat panjang (rata-rata dibutuhkan lebih dari 40 operan untuk menghasilkan sebuah tembakan). Orang-orang mengatakan ini adalah sepakbola menyerang nan indah. Dalam bahasa Portugis orang menyebutnya sebagai Jogo Bonito, yang mengacu gaya permainan Brazil dulu.
Strategi inilah yang digunakan oleh Pep Guardiola dalam beberapa tahun ini di Barcelona. Pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson, menggambarkan strategi ini seperti menempatkan lawan dalam sebuah keranjang, lalu memutar keranjang tersebut dengan cepat, dan ketika ia lengah baru dikirimkan sebuah tusukan yang mematikan. Meksiko, Belanda, Brazil, Argentina, Spanyol dan Jerman (setelah era kepelatihan Jurgen Klinsman dan Joachim Loew sekarang) adalah tim-tim yang bermain konsisten dengan gaya tersebut, selama fase penyisihan grup Piala Dunia 2010.
Sekarang bagaimana dengan pakem yang ke dua? Pakem kedua adalah menggunakan permainan yang kokoh dan langsung menukik ke jantung pertahanan lawan. Ciri permainan ini adalah jumlah passing yang sangat rendah (kurang dari 300 operan per pertandingan), relatif lambat (rata-rata lebih dari 6 detik per passing), dan langsung menukik (rata-rata dibutuhkan kurang dari 30 operan per tembakan).
Gaya inilah yang menjadi kunci kesuksesan José Mourinho membawa kesebelasan Internazionale (Milan) di Liga Champion 2010, Otto Rehhagel ketika membawa Yunani meraih Piala Eropa 2004, dan kesuksesan Marcelo Lippi mengantarkan Italia menjadi juara Dunia 2006.
Prinsip dasar pakem ini adalah, ketika bola berhasil dikuasai, ia akan ditahan sebentar di sektor belakang-tengah, di waktu yang bersamaan penyerang bergerak mencari celah, kemudian bola langsung dikirimkan ke penyerang di jantung pertahanan lawan. Pada fase grup Piala Dunia 2010, Uruguay, Korea Selatan, Amerika Serikat, Ghana, dan Jepang, sukses dengan menerapkan strategi tersebut.
Pilihan Konsep
Saya percaya bahwa, sebagaimana dunia politik yang saya geluti, kemenangan tidak hanya berkaitan dengan aspek penguasaan bola, efektivitas atau faktor keberuntungan semata, tetapi justru diawali dari “konsep permainan”. Tim yang bermain tanpa kejelasan dan ketegasan konsep, pada umumnya akan meluncur menuju kegagalan.
Angka-angka telah memberitahu kita tentang Perancis yang bermain dengan frekuensi passing yang ragu-ragu (333 operan per pertandingan), tempo yang bersifat tanggung (rata-rata 5,82 detik per passing), dan penetrasi yang tanggung pula(rata-rata 35 operan per tembakan). Hal yang sama juga terjadi dengan Italia. Kita tahu (dan para pendukung keduanya pun kecewa) karena dengan konsep yang serba tanggung dan abu-abu, dua tim unggulan ini akhirnya gagal melangkah ke fase selanjutnya, bahkan harus menghuni perangkat paling bawah.
Kisah ini kemudian terus berlanjut di babak 16 besar. Inggris yang banyak diunggulkan untuk memenangkan Piala Dunia, kehilangan fokus permainan ketika melawan Jerman. Mereka bermain dengan intensitas passing yang bersifat tanggung (375) dengan kecepatan yang tanggung pula (rata-rata 5,38 detik per passing).
Bola Jabulani sering dengan begitu tergesa dikirimkan ke jantung pertahanan lawan (rata-rata 19,94 operan per tembakan). Hal ini membuat Wayne Rooney, Emile Heskey dan Jermaine Defoe jarang mendapatkan umpan-umpan yang matang karena dengan mudah diantisipasi oleh pemain-pemain bertahan Jerman. Kasus yang sama terjadi dengan ketika Meksiko berhadapan dengan Argentina.
Pada akhirnya, kita semua bisa banyak belajar dari sepak bola. Strategi, taktik, dan kontrol permainan harus dirumuskan secara fokus, detail, dan teliti. Sang pelatih (atau pemimpin dalam bidang apapun) harus dengan jelas memilih antara pakem penguasaan bola a la Guardiola atau pragmatisme a la Mourinho. Kontes sepak bola terbesar sejagad ini seolah-olah memberikan kita sebuah kebijaksanaan akan pentingnya ketegasan pemimpin di berbagai bidang kehidupan dalam memilih konsep bagi kebijakannya. Sejarah akan menghukum si pemenang menjadi pecundang karena asyik terus menerus berkubang dalam konsep yang abu-abu, sebagaimana Piala Dunia 2010 ini telah menghukum Juara dan Runner Up Piala Dunia 2006, Itali dan Prancis, dengan memulangkan keduanya pagi-pagi sekali. Inilah kisah bagaimana keraguan selalu mengubah pemenang menjadi pecundang..
Saudaraku,
Do’akanlah orangtuamu,
Berbuat baiklah pada mereka,
Sebelum kamu menyesalinya!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)